Bahasa-bahasa daerah sesungguhnya adalah tiang-tiang penopang kebudayaan Indonesia. Sebagai tiang penopang, peran dan fungsinya jelas amat mendasar. Kalau tiang itu keropos, jika bahasa-bahasa daerah itu rapuh, akan runtuh pula bangunan kebudayaan yang ditopangnya.
Adapun sebab-sebab dari kematian kreativitas berbahasa , baik yang sifatnya generatif (generative creativity) maupun inovatif (innovative creativity), alasan-alasan
hancurnya kultur kreativogenik, memang ditandai ada sejumlah hal. Di antaranya
dapat disebutkan:
1. Dominasi
format kakuasaan dan kultur sosial-politik yang tidak memungkinkan
perkembangan,
2. Fungsi
dan peran bahasa daerah yang lama dihilangkan fungsinya,
3. Potensi-potensi
bahasa daerah yang tidak pernah dibangkitkan.
Berkenaan dengan sebab
pertama, kendatipun bahasa daerah itu eksistensinya memiliki kekuatan hukum
kuat lantaran tercantum dalam undang-undang, tetapi kebijakan politik yang
terlampau sentralistik, kebijakan penyeragaman bahasa dengan dalih persatuan
dan kesatuan yang terlampau berlibihan, tidak cukup membaeri tempat kepada
bahasa-bahasa daerah untuk hidup dan berkembang secara wajar.
Bertautan dengan sebab
kedua, yakni peran dan fungsi bahasa-bahasa daerah yang dihilangkan fungsinya,
dapat dijelaskan bahwa dominasi kekuatan bahasa nasional yang selama ini
terjadi, kenyataan yang tidak cukup memberikan tempat untuk berkembang wajar
bagi bahasa-bahasa daerah, terbukti telah menimbulkan letupan-letupan
kedaerahan dalam setiap praktik bertutur sapa. Banyak munculnya leksikon
daerah, mencuatnya struktur bahasa lokal yang sering tidak dilakukan secara
intensional di dalam aneka pertuturan, merupakan akibat dari hilangnya fungsi
bahasa-bahasa daerah yang terlampau lama ini.
Lalu, bertalian dengan sebab ketiga,
sesungguhnya banyak potensi kebahasadaerahan yang dapat disingkap dan
dibangkitkan, untuk kemudian dimekarkan secara optimal. Potensi-potensi bahasa
daerah bernuansa ikonis, berciri onomatopis, menjadi kekayaan melimpah ruah
jika benar-benar dibangkitkan dan dimanfaatkan. Sebab-sebab itulah yang
sesungguhnya menyebabkan keropos dan rapuhnya bahasa-bahasa daerah, hingga
mereka tidak mampu lagi hidup berkembang menopang bangunan kebudayaan. Bagaimana
bahasa-bahasa daerah tersebut bisa dihidupkan kembali lalu dikembangkan?
Pertama-tama, bahasa
daerah yang kini masih hidup dan cukup berkembang baik, seharusnya tetap
digunakan sebagai sarana komunikasi lokal di antara sesama warga pemakai bahasa
daerah itu. Dikuasainya secara merata bahasa nasional, bahasa negara, oleh
segenap warga masyarakat, tidak harus mematikan bahasa-bahasa asing sebagai
dampak yang tidak terlelakkan dari proses globalisasi dan mondalisasi,
seharusnya tidak menyingkirkan bahasa-bahasa daerah yang masih ada itu harus
dipakai sesuai dengan peran dan fungsinya.
Maka singkatnya bahasa-bahasa yang ada
dalam masyarakat, selayaknya dibiarkan hidup dan berkembang sesuai dengan
lingkup dan ranahnya. Bahasa yang satu tidak perlu mematikan bahasa lainnya. Dalam
kerangka pemikiran masyarakat diglosik, maka biarkan saja bahasa yang harus
menempati peran dan fungsi tinggi itu berada pada tempatnya yang tinggi. Biarkan
pula bahasa-bahasa yang harus menempati peran dan fungsi rendah pada tempatnya
yang rendah. Bahasa Indonesia dalam masyarakat kita memiliki kedudukan yang
tinggi, sedangkan bahasa-bahasa daerah memang harus dibiarkan tetap hidup dan
menempati posisi yang rendah.
Kedua, biarkanlah
bahasa-bahasa daerah tetap digunakan didalam ranah yang bertali-temali dengan
adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan lokal, dan dalam ranah-ranah keagamaan. Upacara-upacara
adat, sesajian, dan ceramah keagamaan, yang selama ini berjalan baik dilakukan
dengan memakai bahasa daerah sesuai dengan keadaan dan kearifan lokalnya,
biarkan saja agar bahasa itu terus hidup dan berkembang. Tidak perrlu
dipaksakan untuk diganti dengan bahasa-bahasa lain, kendatipun dengan dalih dan
tujuan yang bermacam-macam, bahkan dengan tujuan yang terkesan luhur sekalipun.
Ketiga, bahasa daerah
sepantasnya tetap digunakan dalam ranah kekeluargaan. Penuturan sesama anggota
keluarga berikut dengan kerabat dekatnya sepantasnya dilakukan dengan bahasa
daerah , tentu saja mempertahankan bahasa daerah di lingkungan keluarga menjadi
senjata terakhir dalam mempertahankan
bahasa daerah.
Sumber:
Rahardi, R. Kunjana. 2005. Dimensi-dimensi
Kebahasaan. Penerbit Erlangga:Jakarta.
Tugas Softskill Bahasa Indonesia ke-4
Intan Pratiwi
Intan Pratiwi
13110570
0 komentar:
Posting Komentar