Kepemimpinan

A. DEFINISI KEPEMIMPINAN

Apakah arti kepemimpinan? Menurut sejarah, masa “kepemimpinan” muncul pada abad 18. Ada beberapa pengertian kepemimpinan, antara lain: ?

1. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).
4. Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
5. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).

Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.

PENGERTIAN PEMIMPIN

Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang
pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama

B. MACAM MACAM GAYA KEPEMIMPINAN

Dari penelitian yang dilakukan Fiedler yang dikutip oleh Prasetyo (2006)ditemukan bahwa kinerja kepemimpinan sangat tergantung pada organisasi maupun gaya kepemimpinan (p. 27). Apa yang bisa dikatakan adalah bahwa pemimpin bisa efektif ke dalam situasi tertentu dan tidak efektif pada situasi yang lain. Usaha untuk meningkatkan efektifitas organisasi atau kelompok harus dimulai dari belajar, tidak hanya bagaimana melatih pemimpin secara efektif, tetapi juga membangun lingkungan organisasi dimana seorang pemimpin bisa bekerja dengan baik.
Lebih lanjut menurut Prasetyo (p.28), gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain itu menurut Flippo (1987), gaya kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (p. 394).
Menurut University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002), Lewin menyimpulkan ada tiga gaya kepemimpinan; gaya kepemimpinan autokratis, gaya kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Kendali Bebas) (p. 406)

Gaya Kepemimpinan Autokratis

Menurut Rivai (2003), kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi (p. 61). Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan (p. 460).

Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis (pp. 196-198):
1. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
2. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas.
3. Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota.

Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis (p. 304):
1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota.
4. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya

Gaya kepemimpinan Demokratis / Partisipatif

Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri (Rivai, 2006, p. 61).
Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan(p. 460). Jerris (1999) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang menghargai kemampuan karyawan untuk mendistribusikan knowledge dan kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan banyak keuntungan dapat menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja (p.203).

Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987, pp. 196-198):
1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
2. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
3. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.

Lebih lanjut ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.

Gaya Kepemimpinan Laissez-faire (Kendali Bebas)

Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002, p. 460).

Menurut Sukanto (1987) ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (pp.196-198) :
1. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu dengan partisipasi minimal dari pemimpin.
2. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberi informasi pada saat ditanya.
3. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas.
4. Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.

Ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri.
2. Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum.
3. Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan untuk mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.

C. Gaya kepemimpinan yang saya menjadi pemimpin

Bila saya mejadi pemimpin, saya akan memilih Gaya kepemimpinan Demokratis / Partisipatif, karena gaya pemimpin ini dapat mensejahterakan bawahannya dan sangat memerhatikan tugasnya sebagai pemimpin.
Pemimpin dengan gaya ini bila mendapat pujian atau kritikan tidak menjadikan ia sombong atau marah, bahkan menjadikannya sebagai motivasi dalam menjalankan sebuah organisasi.
Selengkapnya ...

Konflik Organisasi

Definisi Konflik organisasi

Terdapat banyak definisi konflik-konflik, meskipun makna yang diperoleh definisi itu berbeda-beda beberapa tema umum mendasari sebagian besar dari definisi tersebut. Konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat. Apakah konflik itu ada atau tidak ada merupakan persoalan persepsi. Jika tidak ada yang menyadari adanya konflik, secara umum lalu disepakati konflik tidak ada. Kesamaan lain dari definisi-definisi tersebut adalah adanya pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuk interaksi. Beberapa factor ini menjadi kondisi yang merupakan titik awal proses konflik.
Jadi, kita dapat mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negative, sesuatu yang mejadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Sangat beralasan untuk mengatakan bahwa telah terjadi “konflik” mengenai peran konflik dalam kelompok dan organisasi. Salah satu aliran pemikiran berprndapat bahwa konflik harus dihindari, konflik menunjukkan adanya sesuatu yang tidak berfungsi dalam kelompok. Kami menyebut pemikiran ini pandangan tradisional. Aliran pemikiran lainnya,
pandangan hubungan manusia, berpendapat bahwa konflik adalah akibat alamiah dan tak terhindarkan dalam kelompok mana pun dan bahwa konfliik tidak mesti atau tidak selalu jahat, tetapi justru memendam potensi untuk menjadi daya positif dalam mendorong kinerja kelompok. Perspektif ketiga, dan terbaru, tidak hanya menyatakan bahwa konflik dapat menjadi daya positif dalam sebuah kelompok tetapi juga secara eksplisit berpendapat bahwa beberapa konflik mutlak diperlukan oleh sebuah kelompok untuk dapat berkinerja secara efektif. Kami melabeli aliran ketiga ini pandangan interaksionis.

Pandangan tradisional & interaksionis

Pandangan tradisional
Pendekatan paling awal mengenai konflik berpandangan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik di pandang secara negative, dan digunakan sebagai sinonim dari istilah-istilah seperti kekerasan, kerusakan, dan irasionalitas, sekedar untuk memperkuat konotasi negatifnya. Konflik, dari definisinya saja sudah berbahaya dan harus dihindari. Pandanga tradisional ini sejalan dengan sikap yang di anut banyak orang menyangkut perilaku kelompok pada tahun 1930-an dan 1940-an. Konflik dipandang sebagai akibat disfungsional dan komunikasi yang buruk, tidak adanya keterbukaan dan kepercayaan antaranggota, serta ketidakmampuan para mamajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan mereka.
Pendangan bahwa semua konflik buruk tentu saja merupakan sebuah pendekatan sederhana dalam mengamati perilaku orang yang menciptakan konflik. Karena semua konflik harus dihindari. Kita hanya perlu mengarahkan p[erhatian pada sebab-sebab konflik serta mengoreksi malfingsi ini untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi. Meskipun saat ini studi-studi penelitian memberikan bukti yang kuat untuk menolak bahwa pendekatan terhadap berkurangnya konflik menghasilkan kinerja kelompok yang tinggi, banyak di antara kita yang masih mengevaluasi situasi konflik menggunakan standar yang sudah using semacam ini.

Pandangan interaksionis
Pandangan interaksionis mendorong munculnya konflik dengan dasar pemikiran bahwa sebuah kelompok yang harmonis, damai, tenang, dan koorperatif biasanya menmjadi statis, apatis, serta tidak tanggap terhadap perlunya perubahan dan inovasi, karena itu sumbangan terbesar pandangan interaksionis adalah mendorong para pemimpin kelompok untuk mempertahankan terjadinya tingkat konflik adalah baik. Alih-alih, beberapa konflik memang bias mendukung pencapaian tujuan kelompok dan memeperbaiki kinerjanya yaitu bentuk-bentuk konflik yang fungsional dan konstruktif. Selain itu, terdapat konflik-konflik yang disfungsional dan desktruktif. Apa yang membedakan konflik yang disfungsional dan destruktif. Apa yang membedakan konflik fungsional dari konflik disfungsional ? bukti menujukan bahwa anda perlu memperhatikan jenis konfliknya. Secara sesifik, ada tiga tipe konflik: tugas, hubungan, dan proses.
Konflik tugas berhubungan dengan muatan dan tujuan pekerjaan. Konflik hubungan berfokus pada hubungan antarpersonal. Konflik proses berhubungan dengan bagaimana suatu pekerjaan dilaksanakan. Kajian-kajian menunjukan bahwa konflik hubungan hamper selalu bersifat disfungsional. Mengapa? Gesekan dan permusuhan antarpersonal yang melekat di dalam konflik hubungan mempertajam pertentangan kepribadian dan mengurangi rasa saling pengertian, yang ada gilirannya menghambat penyelesaian tugas-tugas organisasi. Namun, tingkat konflik proses dan tingkat konflik tugas yang rendah sampai seeding bias menjadi tingkat rendah sampai sedang bias menjadi konflik fungsional. Agar produktif, konflik proses konflik proses harus dijaga tetap dalam tingkat yang rendah. Perdebatan yang tajam dan panas mengenai siapa yang harus melalukan apa menjadi disfungsional ketika hal itu justru menciptakan ketidakpastian mengenai peran tugas masing-masing anggota, memperpanjang waktu penyelesaian tugas, dan menyebabkan para anggota berkerja serampangan. Tingkat konflik tugas yang rendah sampai sedang senantiasa memperlihatkan efek positif pada kinerja kelompok karena merangsang munculnya ide-ide segar yang membantu kelompok nerkinerja lebih baik.
Selengkapnya ...